Konflik yang berpanjangan di Patani bukan suatu ciptaan
untuk mendapat segelintir kekuasaan semata, namum perjuangan Patani sangat
mendalam pada akar sejerahnya, lahir suatu perjuangan juga bukan hal yang biasa
dan mudah dilakukan dengan sembarangan siapa saja yang menghendakinya, karena
proses sebuah perjuangan yang kekal berkepanjangan ini tentu ada asas pendirian
dan faktor lahirnya, serta alasan yang kuat dan berideologi yang lebih dari
cukup untuk memadai suatu perjuangan, sehingga perjuangan Patani dapat bertahan
sampai hari ini.
Perjuangan Patani bukanlah suatu perjuangan yang mementingkan suatu kepentingan dari suatu kelompok manusia sahaja, bukan juga perjuangan yang hanya mewujudkan keganasan dengan tujuan untuk mengacaukan stabilitas keamanan dunia.
Perjuangan Patani merupakan perjuangan yang murni demi
untuk menciptakan “kedamaian” yang hakiki. Kedamaian yang menghormati dan
menghargai hak dan martabat kemanusiaan.
Perjuangan kedamaian untuk bangsa Melayu di Patani
mendapatkan kebebasan dari sistem penjajahan yang dilakukan penguasa asing
dengan terrencana, kedamaian yang mewujud keadilan bagi masyarakat di Patani
dengan menjunjung tinggi nilai-nilai, hak dan marwah bangsa sejak tahun 1785
telah dihina oleh bangsa penjajah Siam.
Maka inilah yang
di sebut perjuangan Patani, adalah perjuangan murni untuk kedamaian. Perjuangan
murni dari sebuah bangsa yang tertindas, perjuangan pembebasan demi kehormatan,
perjuangan menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, perjuangan yang mengangkat
darajat bangsa yang selama ini dihilang dan dihina oleh bangsa diluar keturunan
nenek moyang Patani.
Selama ini usaha penyelesaian konflik di Patani oleh
pemerintah Thailand dengan berbagai daya upaya melalui berbagai pihak, berbagai
cara untuk menghentikan tindakkan kemilitiran sehingga lahirnya beberapa kali
sudah yang dinamakan proses perundingan, mulai dari Proses Langkawi, Proses
Bogor, Proses Geneva, Inisiative OIC dan Proses KL kesemuanya demi untuk
mencapai perdamaian dibawah penjajahan Siam sehingga semua proses tersebut
belum membuahkan hasil, karena tidak mempertimbangkan faktor konflik yang
terjadi, serta membiarkan/menyingkirkan faktor utama dalam konflik dan lebih menggutamakan
tujuan dan kepentingan sehingga membiarkan standarisasi sebuah “Proses
Rundingan” sehingga setiap proses yang dilakukan belum memberi hasil serta acap
kali menemu jalan buntu.
Kunjungan resmi pertama kali ke Bangkok oleh Tun Mahathir
setelah menjabat sebagai perdana menteri kali kedua, adakah menjadi tolak ukur
sebuah proses baru atau hanya semata ikut apa yang telah dilakukan oleh PM
Malaysia sebelumnya.
Di bawah pentadbiran baru Malaysia Tun Mahathir telah
menggantikan fasilitator rundingan Dato’ Ahmad Zamzamin Hashim, bekas pegawai
perisikan kanan, diganti dengan Tan Sri Abdul Rahim Mohd. Noor.
Sebelum kunjungan Tun Mahthir ke Thailand, BRN ikut
memberi argumen pengting sebagai sikap BRN tentang pendiriannya dalam hal
rundingan, yang seharusnya berlansung. Mengikut norma-norma antara bangsa
sebagai anjuran tindak lanjut proses perundingan BRN-Thailan.
Rundingan KL 28 fab. 2013 sebelum ini yang dipimpin oleh
Datok Zamzamin sebagai fasilitator, memakan waktu lebih dari 5 tahun belum
nampak haluan yang terarah dalam mengentas masalah konflik di Patani.
Namun apakah Tan Sri Abdul Rahim Mohd. Noor, kalau masih
menggunakan proses dan metoda yang sama dalam menentukan langkah-langkahnya,
mungkin akan mengalami nasib yang sama.
Walau bagaimanapun rakyat Patani masih menaruh harapan
yang besar, sepaya dapat menjalankan tugas ini dengan sempurna, tanpa
mengurangi hak-hak mereka dan dapat memenuhi aspirasi dan keinginannya, menuju
perdamaian yang hakiki, tanpa merugikan mana-mana pehak.
No comments:
Post a Comment