Thursday 13 September 2018

Ratusan Tahun Konflik dan Belasan Tahun Undang-Undang Darurat Militer


Susah ditolak bahwa situasi di Patani (selatan Thailand) dalam tahun-tahun kebelakangan ini dihadapi konflik yang begitu mengkhawatirkan situasi masyarakat awam  hidup yang sangat tidak aman. Pelangaran demi pelangran terjadi dan bahkan mengancam kehidupan rakyat kecil. 

Gerakan sosial yang mengikutsertakan ribuan orang di dalamnya. Kalau sudah melibatkan orang-orang yang telah memberikan dukungan pada operasi tersebut, jumlah mereka bisa sampai ribuan  orang atau lebih. 

Di sisi lain pula cara menangani oleh pihak kerajaan yang sangat bertentangan dengan peraturan-peraturan hukum internasional, membuat lebih rumit dalam menyelesaikan permasalahan, disebabkan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.    

“Substansi Peraturan Darurat sepenuhnya melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan Kovenan PBB tentang Hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Anti Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia...’’

Sampai saat ini sudah ramai warga Melayu yang ditahan secara paksa, tanpa bukti kesalahan yang nyata. Ada juga warga yang diincar pihak keamanan dengan alasan terlibat gerakan pejuang kemerdekaan yang bersenjata.

Peraturan Darurat (Emergency Decree) yang diberlakukan bagi tiga Provinsi dan sebagian daerah provinsi Songkla di wilayah selatan sejak pada tahun Juli 2005. Peraturan Darurat itu menggantikan UU Darurat Militer (Martial Law) dan harus diperbaharui setiap 90 hari dengan persetujuan sidang Kabinet. 

Jadi, bukan produk hukum yang dikeluarkan atau disetujui Parlemen, apalagi berdasarkan kebutuhan masyarakat setempat. Substansi Peraturan Darurat sepenuhnya melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan Kovenan PBB tentang Hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Anti Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam, 

Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Sejak lama pemerintah Thailand yang mengaku berideologi Budhisme itu melakukan diskriminasi rasial terhadap warga Melayu Patani yang menghuni wilayah selatan sejak ratusan tahun lampau. 

Dengan Peraturan Darurat itu, maka pemerintah Thailand dapat melakukan penahanan selama 30 hari tanpa dakwaan kepada siapapun yang dicurigai, memeriksa dan menangkap warga tanpa jaminan keselamatan dan pembelaan, serta melakukan penyadapan telepon kepada sembarang rumah penduduk warga Melayu di wilayah selatan.  

Peraturan itu juga memberi kekebalan kepada pihak keamanan (tentara dan polis) dari segala gugatan, sehingga dikritik oleh pemerhati hukum dan HAM akan menimbulkan suasana impunity (tindakan tanpa pertanggung-jawaban hukum). 

Ironinya, tak ada respon yang memadai dari masyarakat internasional. Seakan-akan dunia menutup mata dan bungkam terhadap pelanggaran berat HAM (gross human rights abuse) yang dilakukan pemerintah Thailand sejak konflik dilanda.

Sampai saat ini sudah ramai warga Melayu yang ditahan secara paksa, tanpa bukti kesalahan yang nyata. Ada juga warga yang diincar pihak keamanan dengan alasan terlibat gerakan pejuang kemerdekaan yang bersenjata. Setiap hari adalah ketegangan dan kedekatan pada kematian bagi warga di wilayah selatan. 

Itu belum termasuk kasus pembunuhan dan penghilangan orang yang tidak terdata. Keadaan semacam ini bukan masalah dalaman sesuatu negara, hal ini sudah sampai saatnya campur tangan negara luar untuk ikut serta menyelesaikan masalah, agar kedamaian dapat terlaksana.


INFO

UNDANG UNDANG DARURAT DIPATANI SEKARANG
   1.Undang-undang Darurat Militer (Martial Law) atau (Kot-Ayakan-Suk) berkuat kuasa 5/4/2004M.-19/6/2005M. dan 19/9/2006M. hingga sekarang.
    2.Undang –undang darurat keamanan (Por. Ror.Bor. Kwam mankong) 2008M.
    3.Peraturan Darurat 2005M. (The Emergency Decree on Government Administration in States of Emergency) atau (Por. Ror.Kor.) berkuat kuasa 1/7/2005M. hingga sekarang, diperbaharui setiap 3 bulan sekali. dengan persetujuan sidang Kabinet.

No comments:

Post a Comment