Susah ditolak bahwa situasi di Patani (selatan Thailand)
dalam tahun-tahun kebelakangan ini dihadapi konflik yang begitu mengkhawatirkan
situasi masyarakat awam hidup yang
sangat tidak aman. Pelangaran demi pelangran terjadi dan bahkan mengancam
kehidupan rakyat kecil.
Gerakan sosial yang mengikutsertakan ribuan orang di
dalamnya. Kalau sudah melibatkan orang-orang yang telah memberikan dukungan
pada operasi tersebut, jumlah mereka bisa sampai ribuan orang atau lebih.
Di sisi lain pula cara
menangani oleh pihak kerajaan yang sangat bertentangan dengan peraturan-peraturan
hukum internasional, membuat lebih rumit dalam menyelesaikan permasalahan,
disebabkan pelanggaran hukum dan hak asasi manusia.
“Substansi Peraturan Darurat sepenuhnya
melanggar Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan Kovenan PBB tentang Hak Sipil
dan Politik, serta Kovenan Anti Penyiksaan dan Perlakuan yang Kejam, Tidak
Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia...’’
Sampai saat ini sudah ramai warga Melayu yang ditahan
secara paksa, tanpa bukti kesalahan yang nyata. Ada juga warga yang diincar
pihak keamanan dengan alasan terlibat gerakan pejuang kemerdekaan yang
bersenjata.
Peraturan Darurat (Emergency Decree) yang diberlakukan
bagi tiga Provinsi dan sebagian daerah provinsi Songkla di wilayah selatan
sejak pada tahun Juli 2005. Peraturan Darurat itu menggantikan UU Darurat Militer (Martial Law) dan harus
diperbaharui setiap 90 hari dengan persetujuan sidang Kabinet.
Jadi, bukan
produk hukum yang dikeluarkan atau disetujui Parlemen, apalagi berdasarkan
kebutuhan masyarakat setempat. Substansi Peraturan Darurat sepenuhnya melanggar
Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) tentang Hak Asasi Manusia (HAM), dan
Kovenan PBB tentang Hak Sipil dan Politik, serta Kovenan Anti Penyiksaan dan
Perlakuan yang Kejam,
Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Sejak
lama pemerintah Thailand yang mengaku berideologi Budhisme itu melakukan
diskriminasi rasial terhadap warga Melayu Patani yang menghuni wilayah selatan
sejak ratusan tahun lampau.
Dengan Peraturan Darurat itu, maka pemerintah
Thailand dapat melakukan penahanan selama 30 hari tanpa dakwaan kepada siapapun
yang dicurigai, memeriksa dan menangkap warga tanpa jaminan keselamatan dan
pembelaan, serta melakukan penyadapan telepon kepada sembarang rumah penduduk
warga Melayu di wilayah selatan.
Peraturan itu juga memberi kekebalan kepada pihak keamanan (tentara dan
polis) dari segala gugatan, sehingga dikritik oleh pemerhati hukum dan HAM akan
menimbulkan suasana impunity (tindakan tanpa pertanggung-jawaban hukum).
Ironinya, tak ada respon yang memadai dari masyarakat internasional.
Seakan-akan dunia menutup mata dan bungkam terhadap pelanggaran berat HAM
(gross human rights abuse) yang dilakukan pemerintah Thailand sejak konflik
dilanda.
Sampai saat ini sudah ramai warga Melayu yang ditahan
secara paksa, tanpa bukti kesalahan yang nyata. Ada juga warga yang diincar
pihak keamanan dengan alasan terlibat gerakan pejuang kemerdekaan yang
bersenjata. Setiap hari adalah ketegangan dan kedekatan pada kematian bagi
warga di wilayah selatan.
Itu belum termasuk kasus pembunuhan dan penghilangan
orang yang tidak terdata. Keadaan semacam ini bukan masalah dalaman sesuatu
negara, hal ini sudah sampai saatnya campur tangan negara luar untuk ikut serta
menyelesaikan masalah, agar kedamaian dapat terlaksana.
INFO
UNDANG UNDANG DARURAT DIPATANI SEKARANG
1.Undang-undang
Darurat Militer (Martial Law) atau (Kot-Ayakan-Suk) berkuat kuasa
5/4/2004M.-19/6/2005M. dan 19/9/2006M. hingga sekarang.
2.Undang
–undang darurat keamanan (Por. Ror.Bor. Kwam mankong) 2008M.
3.Peraturan
Darurat 2005M. (The Emergency Decree on Government Administration in States of
Emergency) atau (Por. Ror.Kor.) berkuat kuasa 1/7/2005M. hingga sekarang,
diperbaharui setiap 3 bulan sekali. dengan persetujuan sidang Kabinet.
No comments:
Post a Comment