Sunday, 9 February 2020

PERJUANGAN MEREALISASIKAN CITA-CITA BANGSA PATANI

Konflik yang berpanjangan di Patani adalah merupakan retetan sejarah yang cukup panjang, usaha dalam penyelesainya tak mudah seperti apa yang sebahagian orang pikirkan, kerana akar sejarahnya; berkaitan dengan hak pertuanan bangsa, harga diri suatu bangsa yang ingin hidup layak sesuai dengan harkat dan martabat bangsanya, dan dapat hidup sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia, dapat mengatur hidupnya sesuai dengan budaya, adat istiadat dan kepercayaannya, selaras dengan piagam PBB, antara lain : “Setiap bangsa berhak untuk menentukan nasib bangsanya sendiri”.

Ini suatu dasar hidup bersama yang sangat penting. Penjajahan, penindasan dan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), merupakan kejahatan yang mesti di hapus, kerana tidak sesuai dengan perkembangan zaman dan cara hidup di abad modern, yang menjunjung tinggi nilainilai democratic berpaliment, segala sesuatu diputuskan dengan cara bermesyuarat.

Penderitaan dan kesengsaraan yang dialami bangsa Melayu Patani di bumi yang subur dan kaya raya (gemah ripah loh jenawi) selama ini, diakibatkan oleh penjajahan Siam, tak dapat dibayangkan. Bahkan sebaliknya, kerajaan Siam/Thai menuduh orang Melayu Patani sebagai teroris dan radikalis yang harus diberantas, seperti yang dibeber-beberkan oleh Jeneral Wichai ke PBNU di Indonesia. Pada hal siapakah yang membantai rakyat Patani, baik di Takbai, di Kerisek, dan lain-lain.

Penembakan rambang terhadap rakyat yang tak bersalah dan pelnggaran HAM di Patani, itu semua adalah ulah perbuatan militer, polis dan kaki tangan paramilitery penjajah Siam. Penderitaan itu semua adalah ulah Penjajah Siam yang kejam, kata orang “Siam Perut Hijau”.

Perjuangan bangsa Melayu Patani adalah untuk mengembalikan Patani kepangkuan bangsanya. Perjuang rakyat Patani bukan perjuangan untuk membelah bagi Negara Thai/Siam, akan tetapi perjuangan rakyat bangsa Melayu untuk mengebalikan han pertuanan Bangsa, yang sesuai dengan hukum dan norma-norma antara bangsa, dalam menentukan nasib bangsanya sendiri, mengurus dan mentadbirkan sendiri dan pengembalikan kepada rakyat Patani secara demokratis.

Dalam kontek konflik yang dialami oleh bangsa Patani saat ini, rundingan merupakan suatu solusi, dalam mencari perdamaian, semoga dengannya dapat jawaban yang jelas dari konflik yang berabad-abad ini. Perdamaian yang diharapkan dan dipahami adalah suatu kondisi tidak adanya perang dan tidak adanya kekerasan.

Perdamaian selain merupakan sebuah keadaan di tempat konflik, juga merupakan suatu proses tanpa kekerasan atau paksaan. Pemahaman tentang kekerasan atau paksaan, adalah mengenai hak-hak asasi dan martabat peribadi manusia. Perjuangan atas hak hidup sebagai hak yang paling asasi dipandang sebagai reaksi atau protes atas pengalaman penderitaan rakyat Patani.

Penganlaman penderitaan itu, diakibatkan oleh penindasan yang disertai oleh kekerasan dan perlakuan dari struktur yang tidak adil, seperti undang-undang darurat militer dan lain bebagainya yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia. Perdamaian tidak terhenti disitu, malah perdamaian lebih jauh dari itu, ia mengandung kebebasan, keadilan dan kesejahteraan.

Bagi bangsa Patani ia bebas untuk mentadbir urusan kepemerintahannya sendiri, membuat dan mengamalkan undang-undang sesuai dengan keparcayaan dan keperluannya, yang tidak melanggar hak-hak asasi manusia, dan mengatur urus kekayaan alam dan perekonomiannya, agar benar-benar kesejahteraan itu dapat dinikmati dan dikembalikan kepada rakyatnya.

Terciptanya kondisi damai, aman dan sejahtera dan bahkan tidak adanya pelanggaran-pelanggara hak-hak asasi manusia. Damai tidak akan wujud kalau tidak adanya rasa aman, aman itu suatu kondisi yang tidak dihimpit oleh keadaan cemas dan takut, serta mendapat suatu jaminan akan keselamatan, kesejahteraan dan perlakuan yang adil.

Membangun kedamaian bukalah utopia atau angan-angan, bukan juga cita-cita yang tak dapat dicapai dan bukan impian yang tak dapat dilestarikan, jika semua pihak jujur dan ikhlas untuk sebuah perdamaian yang abadi dan hakiki.

No comments:

Post a Comment